Hilirisasi di sektor minyak dan gas bumi (migas) merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Hilirisasi mampu menciptakan nilai tambah yang besar, menarik investasi, serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terus berkomitmen mendorong program hilirisasi yang menjadi prioritas utama Pemerintah.
“Hilirisasi migas menjadi salah satu kunci keberhasilan hilirisasi di Indonesia karena terkait dengan petrochemical, refinery dan memberikan nilai tambah yang sangat signifikan bagi industri migas di Indonesia, khususnya downstream (hilir migas),” ungkap Anggota Komite BPH Migas Fathul Nugroho dalam Seminar UI Mineral & Energy Summit 2025 di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Jumat (28/11/2025) petang.
Menurut Fathul, hilirisasi migas menuntut kesiapan infrastruktur yang kuat, mulai dari refinery yang mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan produk turunan bernilai tambah lainnya. Ia menjelaskan bahwa keberadaan terminal BBM dan Liquified Petroleum Gas (LPG) juga memegang peran vital dalam menjaga kestabilan pasokan energi nasional melalui penyimpanan dan distribusi yang optimal.
Infrastruktur lainnya adalah jaringan pipa dan transportasi gas bumi untuk meningkatkan efisiensi distribusi, mengurangi biaya logistik, dan memperkuat ketahanan energi. “Selain itu, fasilitas petrokimia untuk mendukung produksi bahan baku industri dalam negeri dan menekan impor,” tambahnya.

Capaian hilirisasi migas kini juga mulai terlihat nyata. Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto meresmikan pabrik petrokimia terintegrasi di Cilegon, Banten. Fasilitas tersebut menjadi tonggak penting yang menunjukkan kemampuan Indonesia mengolah sumber daya alamnya sendiri sekaligus menciptakan peluang kerja bagi generasi muda.
Lebih lanjut Fathul menegaskan bahwa hilirisasi migas, terutama gas bumi, memiliki peran strategis dalam mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Gas bumi menjadi jembatan energi yang lebih bersih dan mampu mempercepat pencapaian target energi terbarukan. “Saat ini kita menuju transisi energi. Artinya, kita tidak hanya bergantung pada fossil fuel, tetapi juga bahan bakar nabati,” ujarnya.
Terkait bahan bakar yang ramah lingkungan, Fathul menyebutkan bahwa Program B40 (Biodiesel 40%) telah diterapkan sejak Januari 2025. Sementara itu, Program E10 (Etanol 10%) ditargetkan mulai berjalan pada tahun 2027, sebagai bagian dari langkah Pemerintah memperluas penggunaan energi bersih.
Hal senada juga disampaikan Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha. Menurutnya, Program B40 mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor, terutama impor minyak solar. Dengan pengurangan impor minyak, berarti menghemat devisa negara. Hangga juga menekankan perlunya sinkronisasi antara fossil fuel dan energi terbarukan untuk mencapai target NZE 2060 atau lebih cepat.