Jakarta — Tingginya harga gas di Indonesia saat ini yang mencapai USD 10-14 per MMBTU (Million Standard Cubic Feet per Day) telah membuat kalangan industri tanah air sulit untuk bersaing. Presiden Jokowi pun menginstruksikan agar dalam waktu yang tidak terlalu lama harga gas dapat segera diturunkan menjadi USD 6 per MMBTU. Bisakah harga gas turun seperti yang diinstruksikan Presiden Jokowi?
Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Ibrahim Hasyim mengatakan tidak mudah untuk menurunkan harga gas menjadi USD 6 per MMBTU, mengingat harga produksi gas tiap sumur yang berbeda, ditambah lagi dengan menyebarnya lokasi produksi dan konsumsi di sebuah negara kepulauan seperti Indonesia di tambah lagi infrastruktur yang belum lengkap.
Menurutnya ada beberapa pilihan-pilihan ‘pahit’ yang harus diambil Pemerintah dari proses hulu hingga hilir agar harga gas bisa turun menjadi USD 6 per MMBTU. “Selain melakukan peningkatkan efisiensi di tata kelola, tentu yang juga harus rela menghilangkan penerimaan negara di Hulu dan memberi subsidi di Hilir seperti yang dilakukan negara tetangga, Malaysia dan banyak negara lain,” ujar Ibrahim Hasyim, Kamis (13/10/2016) di Jakarta.
Diakui Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, pasar gas bumi dalam negeri memang sudah jauh berubah. Realisasi konsumsi pemakaian gas dalam negeri sampai dengan semester I tahun 2016, sudah mencapai 57 persen dari total produksi nasional.
“Pemakaian gas bumi telah jauh merambah sektor industri yang beraneka ragam jenis dan lokasi pasar. Perbedaan harga gas antar lokasi telah menyulitkan industri, keramik misalnya. Pabrik keramik di Jawa memperoleh harga gas yang lebih murah dibanding dengan pabrik keramik di Medan,” pungkas Ibrahim.
Karena itu, sambungnya, harga keramik produksi Jawa bisa lebih murah di pasar Medan. Kondisi seperti inilah yang akan terjadi di semua aneka industri, dan yang paling menakutkan industri adalah setelah Indonesia memasuki masyarakat ekonomi ASEAN.
“Hasil industri Indonesia akan kurang kompetitif berlaga dengan hasil industri negara lain, karena harga gas dalam negeri sebagai sumber energi ataupun bahan baku, jauh lebih mahal,” tutup Ibrahim Hasyim.