JAKARTA. Tidak tersedianya lembaga penyalur seperti SPBU maupun APMS di daerah-daerah terpencil membuat masyarakat harus membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah, karena harus membeli di pengecer dengan harga lebih mahal. Atas dasar itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) berinisiatif untuk membuat peraturan mengenai sub agen penyalur di daerah-daerah terpencil tersebut.
Belum lama ini, Anggota Komite BPH Migas Sumihar Panjaitan, Karseno dan Ibrahim Hasyim, didampingi Muhidin selaku Kabag Hukum dan Humas, Sri Purnomo, Kasubag Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, Parlagutan Tambunan, Kasubag Pertimbangan dan Bantuan Hukum dan Luluk Priambudi, selaku Kasie Pengolahan Data dan Informasi Usaha BBM, mengunjugi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Kementerian Dalam Negeri. Dalam kunjungan tersebut rombongan BPH Migas diterima langsung Dirjen PMD, Tarmizi A Karim beserta jajaran.
Ibrahim menjelaskan, pasca otonomi daerah peningkatan terhadap konsumsi BBM justru terjadi di lokasi-lokasi terpencil tapi mata rantai penyaluran seperti infrastruktur untuk menyalurkan BBM di lokasi tersebut tidak tersedia.
“Belum diaturnya secara hukum padahal masyarakat banyak, akhirnya ada inisiatif, dimana Bupati membuat edaran dan keputusan. Kami sebagai Badan Pengatur ingin mengatur lokasi yang tidak ada penyalur BBM. Inilah kita meng-create namanya sub agen penyalur,” ujarnya.
Mengenai harga di sub penyalur tersebut, tutur Ibrahim tidak bisa dilepas begitu saja karena dikhawatirkan akan terbentuk harga suka-suka. Namun, karena yang paling tahu daerah adalah Pemda setempat, apakah mungkin gubernur atau Bupati menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET)?
“Regulasi yang ada selama ini kalau Minyak Tanah itu boleh. Tetapi untuk Premium dan Solar itu belum ada. Apakah ini (Solar dan Premium) dimungkinkan. Kalau dimungkinkan itu sudah solusi buat kami. Di Peraturan kami nanti misalnya HET ditetapkan oleh Bupati. Kalau tidak bisa ada alternatif ditetapkan ongkos angkut saja,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen PMD, Kemendagri, Tarmizi menjelaskan ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Salah satunya adalah melakukan rapat regional dengan Gubernur yang melibatkan BPH Migas untuk mensosialisasikan konsep dasar pola distribusi.
Sedangkan mengenai harga tidak boleh ada perbedaan karena itu merupakan keputusan Presiden (Kepres). Yang menyebabkan harga berbeda adalah karena persoalan ongkos angkut.
“Papua tentu tidak bisa disamakan dengan Jawa Timur. Ini tidak bisa tidak. Kalau tidak bagaimana mencari jalan keluar. Dalam waktu dekat ini kalau boleh sudah bisa ada progres. Saya cari waktu untuk audience dengan pak Mendagri,” pungkas Tarmizi.