Jakarta — Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng mengatakan apabila kinerja lembaga yang dipimpinya dilihat hanya dari serapan anggaran, itu salah.
Hal tersebut dikatakan Andy dalam acara Forum Dialog Stakeholder BPH Migas Mewujudkan Tata Kelola Hilir Minyak dan Gas Bumi Sesuai dengan Konstitusi Untuk Penguatan Kelembagaan, Kamis (15/10/2015) di Hotel Grand Kemang, Jakarta.
“Justru kinerja itu harus dilihat dari seberapa besar kegiatan di sektor hilir itu berkembang. Bagaimana indikasinya? Salah satu indikatornya mudah saja, yaitu seberapa besar iuran Badan Usaha yang diterima oleh negara,” kata Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng.
Ditambahkan Andy, bahwa selama ini sesungguhnya anggaran BPH Migas itu didasarkan dari iuran. Sedangkan Undang-undang Keuangan Negara tidak ada yang mengenalnya namanya iuran. Undang-undang Keuangan Negara hanya mengenal pajak, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dan hibah. Sehingga iuran dari Badan Usaha itu masuk ke dalam PNBP atau ke kas negara baru kemudian negara memberikan berapa persen yang bisa digunakan.
Andy mengaku heran, kenapa sampai saat ini lembaga yang dipimpinya yang sudah jelas-jelas konstitusional tetapi masih ‘digoyang-goyang’ mau dibubarkan.
“Kalau kita mau mengacu pada penguatan kelembagaan, kelembagaan kita sudah konstitusional. Makanya saya juga heran kenapa UU Migas yang sudah 4 kali judical review tidak ada satu ayat pun terkait BPH Migas dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya.
Diakui Andy, saat ini sedang gaduh diluaran terkait tentang kelembagaan. Kalau benar-benar memang tidak ada BPH Migas itu aneh karena dibanyak negara, seperti Malaysia dan Singapura ada yang namanya Energy Market Outhority. Selain itu di Cina ada Energy Market Administration dan bahkan di Turki pun ada Energy Market Regulatory Outhority.
“Dulu pada saat ada dua aliran politik dunia yang berkembang antara komunisme dan kapitalisme, keduanya bangkrut. Artinya sudah tidak mungkin lagi negara itu head to head kepada pelaku usaha. Harus ada pihak ketiga yang menjebatani atau on behalf dari pada pemerintah selaku pembuat kebijakan, on behalf dari Badan Usaha dan juga on behalf dari masyarakat yang diwakili oleh parlemen,” tutup Andy.