Jakarta — Pemerintah dan DPR tengah menggodok revisi Undang-Undang Migas nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Lantas seperti apa seharusnya BPH Migas yang telah 13 tahun melakukan pengaturan dan pengawasan penyediaan dan pendistribusian BBM di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kedepan?
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng mengatakan kedepan ada baiknya tidak perlu membuat sesuatu hal yang seolah-olah ada pembaruan yang tidak dimiliki orang lain
“Kita mem-benchmark saja tata kelola migas yang lebih bagus yang sudah ada. Tidak perlu jauh-jauh. Ada Malaysia, Singapura, juga Turki. Kita lihat saja tata kelola migas negara mana yang paling bagus,” kata Andy Nooorsaman Sommeng, Jum’at (13/03/2015) di ruang kerjanya.
Menurutnya acuan paling baik dalam perubahan wajah BPH Migas kedepan, karena sekerang Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak jadi paradigma berpikirpun sudah harus diubah. Dirinya mencontohkan bahwa yang paling ideal untuk di benchmark oleh Indonesia adalah Turki.
“Turki tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dimana dalam tempo 10 tahun pengembangan industri migasnya berkembang dengan baik. Padahal dia tidak memiliki sumber daya. Cuma ada sekitar 1 atau sampai 5% dari sumber daya alam yang dimiliki berkaitan dengan gas tapi dia bisa impor. Tapi di satu sisi dia juga bisa ekspor ke negara-negara tetangganya, baik gas atau pun minyak. Artinya tata kelola migas yang dibuat itu benar. Disamping ada pembuat kebijakan disitu juga ada regulatory authority dan ada para pelaku usaha,” jelasnya.
Di Turki yang namanya Energy Market Regulatory Authority tidak hanya mengurusi BBM dan Gas tapi juga crude, listrik kemudian LPG juga diatur oleh lembaga ini. Di Indonesia juga sebaiknya seperti itu. BPH Migas itu harus diperkuat dengan menjadi regulatory authority. Selain itu, Indonesia itu telah ada Badan pengatur Jalan Tol (BPJT), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dibidang financial.
“Bisa saja nanti organisasi BPH Migas tidak tergantung kepada UU Migas tapi ada UU tersendiri seperti OJK. Sehingga kalau mau ada kewenangan pengawasan yang lebih intensif bisa menyidik itu juga harus dibentuk dalam lembaga ini dan di atur dalam UU. itu yang paling utama kalau kita mau membangun sistem tata kelola migas yang ideal,” pungkasnya.
Diuraikan Andy, semangat reformasi dahulu itu adalah dalam rangka debirokratisasi dan deregulasi. Artinya peran pemerintah itu dibuat sedemikian ramping sehingga tidak ikut juga sebagai pelaksana atau juga pengatur. Pasalnya, apabila dia sebagai pelaksana juga pengatur akan timbul yang disebut Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), karena disitu face to face, head to head antara pembuat kebijakan yang mengatur yang memiliki diskresi yang sangat tinggi dan Badan Usaha. Sementara masyarakat atau konsumen diluar. Kalau ini berkooptasi timbulah KKN.
“Akhirnya yang dikorbankan adalah masyarakat. Kalau ada tiga kaki, yakni ada pembuat kebijakan kemudian ada regulatory otority dan ada Badan Usaha atau pelaku usaha. regulatory authority ini on behalf dari pemerintah tetapi dia juga on behalf dari Badan Usaha dan on behalf dari masyarakat, sehingga masyarakat itu diuntungkan. Kebijakan pemerintah tidak sewenang-wenang, tidak pokoknya, kegiatan usaha pun tidak untung sebesar-besarnya sehingga masyarakat pun mendapatkan ketersediaan BBM yang lebih baik, kualitas maupun kuantitas dan harganya juga affordable serta accessibilitymasyarakat terhadap energi pun dicapai karena infrastruktur terbangun,” katanya.